my dreams,story and dailychat

Just another WordPress.com weblog

Dago…bagian 1 March 24, 2010

Filed under: interesting issue — milasavitri @ 11:15 am

Cuma ingin berbagi…sebenarnya ini postingan lama di blog saya yang lain…tapi nggak ada salahnya di re-post, dengan sedikit touch up di beberapa spot 🙂

Well, siapa sih yang nggak kenal Dago, jalan ini dari jaman akhir 1800-an udah jadi jalur utama, walaupun mulanya hanya dilewati para inlandeers pengangkut hasil kebun dari daerah atas, dimana disitu mulai dikenal istilah ‘ngadagoan’ yg artinya tempat nunggu, karena mereka memang musti saling menunggu untuk lewat jalan ini bareng2 supaya nggak dirampok. Tahun 1900 awal, Bandung semakin dipenuhi oleh para preangerplaanters alias londo2 pemilik perkebunan, salah satunya adalah sang juragan Andreas de Wilde yang puny a gudang kopi di lokasi yang sekarang jadi Balaikota di Jl.Wastukencana itu. Nah, dialah salah satu pionir yang membangun rumah di jl. Dago atas, yg konon sampai sekarang rumah itu masih berdiri, di sebelah hotel Jayakarta. Mulai saat itu, semakin banyaklah dibangun rumah2 bertipe villa, yaitu tipe bangunan tunggal yang punya sempadan samping yang cukup lebar, tentunya juga sempadan muka yang juga luas.

Sampai berpuluh tahun kemudian, kawasan Dago masih dikenal sebagai kawasan hunian yang elit dan berkelas, dengan karakter yang sangat khas yang dibentuk oleh elemen-elemen seperti bulevar (median di tengah jalan), berm (area hijau diantara jalan dan kapling) yang diisi oleh vegetasi pengarah berupa pohon tinggi yang rindang spt Damar yang membentuk Dago menjadi koridor yang rindang, pedestrian (jalur pejalan kaki), GSB atau garis sempadan bangunan yang lebar, serta mostly bangunan satu level dengan atap miring curam sebagai responnya terhadap iklim tropis, walaupun ada beberapa bangunan dengan langgam yang berbeda, seperti 3 villas , which is one of them has changed into an FO =_( Dago semakin eksis ketika awal 1920-an Bandung jadi gementee (kotamadya) dan mengalami pembangunan di sana sini, spt kawasan pemerintahan di sekitar Gd.Sate dan kawasan pendidikan, istitut tuaaa banget, di Jl. Ganesha…dll, sehingga Dago jadi pembatas antara dua kawasan itu…

Dago 1920 (sumber:Bandung Tempo Doeloe)

Seiring dengan pesatnya pembangunan, plus secara nggak langsung kena imbas dari dibangunnya tol Cipularang dan jalan layang Pasupati, karakter itu perlahan (gak juga, cukup cepat kok) semakin menghilang, terutama pada segmen Dago bawah, mendekati Jl Merdeka. Bangunan tipe villa sedikit demi sedikit berganti jadi bangunan dengan tipe entahlah, dengan karakter bulky dan menjulang yang merusak streetscape, demi mengejar ‘wadah’ yang dirasa lebih ‘pantas’ untuk menampung peruntukan dan fungsi baru. Pergeseran fungsi memang mulai terasa sejak jaman krismon, dimana mulai bertumbuhan kafe-kafe tenda sebagai respon dari kesulitan ekonomi (cikal bakal komunitas kreatif kali ya…). Tapi beberapa tahun belakangan, tepatnya tahun 2000an, demam FO melanda Dago (dan kawasan lain seperti Jl Riau)  dan ‘menyerang’ dengan cukup bombastis. Wajah bangunan pun tak ragu ditutupi ‘kulit baru’ berupa second skin, bahkan pada beberapa bangunan dilakukan  operasi penggantian wajah dan tubuh sekaligus, yang benar2 menghilangkan karakter bangunan aslinya…contoh ekstrimnya mungkin si bangunan ‘lingerie’ yang super transparan dengan tirai menjuntai penuh (jadi repot sendiri karena musti menutup diri dari silaunya sinar matahari sore?)

Bangunan ‘lingerie’ (courtesy of PSUD-Bdg)

Sebenarnya hal ini tak lepas dari ‘peranan’ peraturan, baik itu RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) maupun RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota), yang telah menetapkan bahwa koridor Dago menjadi kawasan dengan peruntukan jasa. Well, yang namanya jasa itu sebenarnya ya menyediakan jasa (bukan barang), seperti kantor (jasa pelayanan), dokter/notaris (jasa profesi), hotel (jasa pariwisata) dsb. Tapi ini malah dipenuhi juga oleh komersil/perdagangan, dimana dalam peraturan memang tidak disebutkan secara jelas perbedaan antara keduanya. Tidak seperti di Jakarta yang jelas2 membedakan antara jasa dan perdagangan (komersil). Dalam suatu penelitian juga disebutkan bahwa pemda menetapkan Dago sebagai floating zone alias area yang kasarnya ‘masih bisa diapa-apain”, jadi masih tersisa ruang yang longgar dimana stakeholders dan pemda masih bisa ‘bermain’ tanpa kena sanksi pelanggaran thd peraturan…(well ini sih udah pake su’udzon hehe). Ok CMIIW ya….Masalah2 di Dago ‘cukup’ banyak, antara lain:

–          Signage yang bersifat privat(baca: reklame komersil) spt bando dan bilboard yang makin lama makin ‘menuh-menuhin bungkusnya’, tersebar di manapun mereka mau berdiri, dengan ukuran terserah, layout terserah dan menutupi terserah apapun yang mau mereka tutupi (spt vegetasi, elemen bangunan, ataupun tata informasi lain..)

(courtesy of PSUD-Bdg)

–          Terakuisisinya lahan publik oleh kepentingan privat, spt penggunaan berm untuk tempat parkir (terutama pada fungsi komersil) dan tempat PKL (which is sangat menjamur sejak krismon sampai sekarang, bahkan semakin tidak terkendali…)

–          Kemacetan yang terjadi tidak hanya di hari libur/weekend, karena bangkitan yang timbul semakin tidak terkendali (krn makin banyak FO) dan parkir semakin tidak tertampung di dalam kavling hingga meluber on street…

(sumber : Artepolis, 2006)

–          Pedestrian atau jalur pejalan kaki yang bolong2, naik turun karena musti mengalah sama jalur mobil yang ke arah kavling (bikin pegel yang jalan dan walhasil orang jadi males strolling dan memilih untuk naik kendaraan which is makin bikin macet)

–          Adanya SPBU baru, padahal jelas2 jasa kendaraan bermotor (spt bengkel, showroom dan SPBU) tidak diperbolehkan, bahkan SPBU di cikapayang bbrp taun lalu dibongkar dan udah jadi RTH…gak konsisten sih? mbingungin!

Tetapiii…Dago juga punya potensi yang besarrr…selain aspek fisik spt bangunan konservasi bertipe villa,ruang terbuka hijau dan karakter lingkungan yang khas…yaitu aspek non fisiknya, spt aktivitas pendukung yang saat ini semakin menjadi identitas kawasan Dago juga..Dago sudah menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi komunitas tertentu spt klub2 otomotif di hari-hari tertentu, dimana hal ini menjadi atraksi yang menarik juga bagi pendatang…selain itu kawasan sekitar Dago juga dikelilingi oleh komunitas kreatif berupa distro2 dengan berbagai aliran (CMIIW again…) Tahun 2001-2004 sempat brlangsung Dago Festival yang sangat festive, tapi sayangnya dilarang oleh pemkot krn dianggap menyebabkan kemacetan dan kekacauan…bgitu juga dengan OB-Van radio2 anak muda yang nongkrong di titik tertentu di malam minggu, dilarang juga…

(sumber : flickr)

Ok, memang rumit dan dibutuhkan komitmen tinggi serta kerjasama dari berbagai pihak/stakeholder yang punya “niat” dan kesadaran yang sama untuk membenahi Dago…tapi bukannya nggak mungkin kok menata Dago untuk jadi kawasan conservation-festive- hip-pedestrian oriented-shopping street– yang nyaman, hijau dan sustainable (berkelanjutan)…setuju?? (*semi optimis tapi berharap fully optimis* mode on)

 

One Response to “Dago…bagian 1”


Leave a comment